Polemik grasi corby
PENDAHULUAN
Latar belakang
Dalam tugas saya ini, saya
hendak menganalisa sebuah polemik grasi corby yang lagi hangat-hangatnya
ditelinga masayarakat. Karena menurut saya grasi ini perlu dipahami lebih dalam..
Yang membuat penulis tertarik mengambil judul grasi corby yang diberikan
prsident kepada Ratu Mariyuana. Yang menjadi permasalahannya grasi tersebut
menuai polemik dari berbagai pihak. Ada apa sebenarnya yang terjadi dengan
grasi tersebut Dari fakta tersebut saya hendak menganalisa, apakah yang
sebenarnya sedang terjadi dan apakah grasi yang diberikan oleh president kepada
terpidana salah, atau bagaimana, serta solusinya. Itulah yang mendasari saya
memilih untuk menganalisisa Grasi corby ini. Yang akan saya bahas dalam paper
saya ini.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 2002, yang dimaksud Grasi adalah
pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan
pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Dari sejarahnya, grasi dahulu sebenarnya diberikan untuk kepentingan
terhukum oleh raja pada waktu ia masih berdaulat penuh berdasarkan pertimbangan
kemanusiaan.
Negara Republik Indonesia
adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Undang-undang Dasar 1945 menetapkan
bahwa Negara Republik Indonesia itu suatu negara hukum (rechstsaat) dibuktikan
dariketentuan dalam Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan Undang-undang Dasar
1945.
Mengenai kewenangan
presiden meberikan grasi, disebut kewenangan presiden yang bersifat judicial,
atau disebut juga sebagai kekuasaan presiden dengan konsultasi. Kekuasaan
dengan kosultasi adalah kekuasaan yang dalam pelaksanaannya memerlukan usulan
atau nasehat dari institusi-institusi yang berkaitan dengan materi kekuasaan
tersebut. Selain grasi dan rehabilitasi, amnesti dan abolisi juga termasuk
dalam kekuasaan presiden dengan konsultasi. Seperti tercantum dalam Pasal 14 ayat
(1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945, “Presiden memberikan amnesti dan
abolisi atas pertimbangan DPR”.
ANALISA
TEORI
1.
Kekuasaan
Keberadaan suatu kekuasaan dalam
suatu negara tidak bisa dinafikan, melalui kekuasaan, seseorang bisa
mempengaruhi orang lain untuk mencapai kepentingan bersama. Hal ini dapat
dilihat dari perumusan yang umumnya dikenal (dalam Budiardjo, 2009:60) yakni
kekuasaan adalah kemampuan seseorang pelaku untuk mempengaruhi perilaku seorang
pelaku lain, sehingga perilakunya menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku
yang mempunyai kekuasaan. Dalam perumusan ini pelaku bisa berupa seorang,
sekelompok orang, atau suatu kolektivitas. Senada dengan pemikiran diatas juga
diungkapkan oleh Laswell dan Kaplan (dalam Budiardjo, 2009:60) yaitu kekuasaan
adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan
tindakan seseorang atau kelompok orang lain ke arah tujuan dari pihak pertama.
2.
Trias Politika
Berkaitan dengan konsep kekuasaan
diatas, dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan
kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan
yang dilakukan secara absolut atau otoriter. Oleh karena untuk menghindari hal
tersebut maka harus ada pemisahan kekuasaan negara. Sebagaimana konsep
trias politika yang dikemukakan oleh Montesquieu (dalam Syafiie, 2002:126)
yakni kekuasaan legislatif yaitu pembuat undang-undang, kekuasaan eksekutif
(presiden) yaitu pelaksana undang-undang, kekuasaan yudikatif yaitu yang mengadili
(badan peradilan).
Namun demikian, dalam konteks Negara
Kesatuan Republik Indonesia mengenai konsep trias politika diatas, maka menurut
Budiardjo (2009:287) bahwa ketiga undang-undang dasar di Indonesia tidak secara
eksplisit mengatakan bahwa doktrin trias politika dianut, tetapi karena ketiga
undang-undang dasar menyelami jiwa dari demokrasi konstitusional, maka dapat
disimpulkan bahwa Indonesia mengatur trias politika dalam arti pembagian
kekuasaan, bukan pemisahan kekuasaan.
3.
Presiden
Sebagai bentuk dari konsep trias
politika dalam arti pembagian kekuasaan sebagaimana diuraikan diatas, dan
sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 maka kekuasaan eksekutif (pemerintahan
negara Indonesia) dilaksanakan oleh presiden. Menurut tata bahasanya, kata
presiden merupakan kata turunan dari to preside yang artinya memimpin atau
tampil didepan. Sedangkan dari kata Latin yaitu presidere berasal dari kata
prae yang artinya di depan, dan kata sedere yang artinya duduk (Alrasid,
1999:10).
Jabatan presiden merupakan jabatan
tunggal, yaitu diisi oleh satu orang pemangku jabatan. Pemangku jabatan
presiden juga disebut presiden. Jabatan presiden Indonesia sebelum perubahan
UUD 1945, menurut Alrasid (1999:12) bahwa presiden bukan merupakan jabatan
tertinggi, karena dia berada di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
sehingga jabatan majemuk yang melakukan kedaulatan rakyat dan merupakan
Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes (badan perwakilan yang
menyuarakan kemauan rakyat). Kepada badan negara tertinggi MPR ini presiden
wajib memberikan pertanggungjawaban. (Hal ini berdasarkan UUD 1945 sebelum
amandemen).
Kasus
Pada Oktober 2004, corby, 4 tahun
ditangkap dibandar Udara Ngurah Rai, denpasar karena membawa 4,2 kilogram ganja
didalam tasnya. Yang akhirnya dijatuhkan hukuman 20 tahun penjara pada bulan
mei 2005, dan didenda 100 juta.di tingkat banding pada oktober 2005 hukuman
corby dikurangi menjadi 15 tahun penjara. Namun pada 12 januari 2006 MA
menganulir putusan pengadilan itu. Alasannya narkotika yang diselundupkan corby
tergolong kelas 1 yang berbahaya. Corby kembali divonis 20 tahun penjara ketika
ia melakukan peninjauan kembali.
Seperti kita ketahui bahwa pada
selasa, 15 mei 2012 president mengeluarkan keputusan nomor 22G tahun 2012 yang
mengabulkan permohonan grasi terpidana 20 tahun, Schapelle Leigh Corby, warga
negara Australia yang nama lengkapya ratu mariyuana. Grasi itu berupa
pemotongan pidana selama lima tahun.
Corby menjalani pidana sejak 2004 sehingga dengan pemotongan itu dia
dapat mengajukan pembebasan bersyarat pada 3 september 2012, karena telah
menjalani 2/3 dari masa hukuman sesuai dengan ketentuan PP Nomor 32 tahun 1999
tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan,
sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 28 tahun 2006, dengan demikian
diperkirakan bebas tahun ini, tepatnya september mendatang.
Beberapa sumber yang tidak setuju akan grasi yang diberikan Oleh prisident:
Jember, Jawa Timur (ANTARA News) -
Pengamat hukum Universitas Jember, Dr Widodo Eka Tjahyana, menilai pemberian
grasi oleh Presiden Susilo Yudhoyono kepada terpidana kasus narkotika,
Schapelle Corby, dapat memperburuk citra Indonesia di dunia internasional.
JAKARTA,
KOMPAS.com — Keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
memberikan grasi berupa pengurangan lima tahun hukuman penjara kepada terpidana
kasus narkotika, Schapelle Corby, disesalkan. Pasalnya, tidak jelas timbal
balik apa yang didapat Indonesia dari pemberian grasi itu.
Hal itu
dikatakan Wakil ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, Nasir Djamil, melalui
pesan singkat, Rabu (23/5/2012).
Guru besar
luar biasa Universitas Padjajaran, bandung,Romli Atmasasmita, juga menilai
grasi itu sebagai ketidak laziman ditengah perjuangan pemberantas narkoba.
Apalagi kejahatan narkoba merupakan kejahatan internasional yang terorganisasi.
Dengan demikian ia harus dilawansekeras-kerasnya bukan diampuni
Tentang Grasi
Grasi merupakan
pengampunan dalama bentuk perubahan, peringanan,pengurangan atau penghapusan
pelaksanaan hukuman yang diberikan oleh president. Grasi bukan merupakan bentuk
campur tangan president terhadap putusan pengadilan karena tidak menghilankan
kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana. Sesuai
dengan ketentuan pasal 14 ayat 1 UUD 1945 yang selanjutnya diatur dalam UU
Nomor 22 tahun 2002, president memiliki wewenang memberi grasi setelah
memperhatikan pertimbangan MA. Wewenang ini berasal dari hak yang melekat pada
kedudukan president sebagai kepala negara yang pada umumnya juga dimiliki
kepala negara di negara-negara lain. Hak ini bersifat eksekutif, sehingga
disebut sebagai hak prerogatif dan oleh karena itu pula pertimbangan MA tidak
bersifat mengikat, walaupun dari sisi prosedural tetap harus dilalui
UU grasi tidak menentukan terpidana
kejahatan apa yang dapat atau tidak dapat diberikan grasi sehingga pada
prisinpnya semua terpidana dapat diberi grasi.UU grasi juga tidak menentukan
alasan-alasan yang dapat digunakan oleh pemohon untuk mengajukan grasi ataupun
alasan bagi President untuk mengabulkan permohonan itu. Hal ini berbeda dengan
remisi yang diberikan berdasarkan perilaku terpidana sebagai warga binaan
dilembaga permasyarakatan.
Berdasarkan PP nomor 32 Tahun 1999
yang telah diubah dengan PP nomor 28 tahun 2006, remisi dapat ditambah apabila
terpidana berbuat jasa kepada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi
negara atau kemanusiaan, atau melakukan perbuatan yang membantu kegiatan
lembaga pemasyarakatan. Bahkan ketentuan pasal 34 ayat (3)PP nomor 28 tahun
2006 menyatakan bahwa terhadap terpidana narkotika dapat diberikan remisi
apabila berkelakuan baik dan telah menjalani 1/3 masa pidana. Pada prateknya,
alasan permohonan dan pemberian grasi tidak jauh berbeda dengan alasan
pemberian remisi, yaitu kondisi dan perilaku terpidana. Kondisi terpidana
merupakan alasan yang bersifat kemanusian, yaitu kesehatan terpidana baik fisik
maupun mental. Sedangkan alasan perilaku adalah perubahan sikap dan tingkah
laku terpidana ke arah yang positif. Hal ini sesuai dengan paradigma pemidanaan
yang lebih mengedepankan pemasyarakatan dibandingkan dengan penghukuman.
Grasi terhadap
terpidana Narkotika
Kejahatan narkotika, baik dalam
hukum internasional maupun hukum nasional, dikategorikan sebagai kejahatan yang
serius karena dampaknya yang besar dan meluas terhadap tatanan dan meluas
terhadap tataan dan perkembangan masyarakat. Indonesia telah meratifikasi
United Nations Convension Againts Illicit In Narcotic, Drugs and Psychotropic
substance, 1988 dan United Nations Convention Againts Transnational Organized
Crime 2000. Sebagai salah satu bentuk pelaksanaan dua konvensi itu,tekah
dibentuk UU nomor 55 tahun 2009 tentang narkotika. Dua konventional
internasional itu serta hukum nasional oleh negara peserta dalam melakukan
pencegahan dan pemberantas kejahatan narkotika dan kejahatan transnasional yang
terorganisasi lainnya.
Terkait dalam pemberian grasi dan
pengampunan, dua konvensi itu memang mengandung politik hukum pengetatan dengan
memperhatikan sifat merusak dari narkotika. Didalam artikel 3 paragraf 7 united
Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotik Drugs and Psychotropic
substance disebutkan, “the parties shall ensure that their courts or other
competent authorities bear in mind the serious nature of the offence enumerated
in paragraf 1 of this article when considering the eventuality of early release
or parole of persons convicted of such offences.” Senada dengan ketentuan itu
article 11 paragraf 4 United Nations Conventions Againts Transnational
Organized Crime menyatakan, “ Each state party shall ensure that its courts or
other competend authorities bear in mind the grave nature of the offence
covered by this conventions when considering the eventuality of early rease or
parole of persons convicted of such offences.”
Politik hukum pengetatan pemberian
pengampunan dalam dua konvensi PBB tersebut tentu tidak dapat dimaknai sebagai
pelarangan pemberian pengampunan dalam bentuk grasi. Demikian pula dalam UU
narkotika tidak ada larangan pemberian grasi
terhadap terpidana narkotika. Karena itu prisident tetap memiliki hak untuk
memberikan grasi. Agar grasi tidak
menambrak politik hukum yang dianut, tentu harus dilandasi pertimbangan dan
argumentasi yang mampu mengesampingkan sifat serius dari tindak pidana
narkotika itu sendiri.
PERLU PENJELASAN YANG
DETAIL
Keputusan pemberian grasi kepada
corby itu memang tidak melanggar aturan hukum, karena dilakukan sesuai dengan
prosedur berdasarkan permohonan dan telah mendapatkan pertimbangan dari MA.
Dari sisi substansi, keputusan itupun tidak menabrak aturan hukum karena tidak
ada larangan memberi pengampunan kepada terpidana narkotika sebagai kejahatan
serius yang bersifat transnasional dan terorganisasi. Karena itu maslah ini
dapat dipastikan tidak akan berkelanjutan hingga membuka kemungkinan impeachment
karena tuduhan melanggar UU. Kemungkinan terburuk hanyalah pembatalan grasi
jika benar keputusan president itu digugat di PTUN yang tentu saja harus
melalui pemeriksaan persidangan dan adu argumentasi hukum seperti apakah
president pada saat mengeluarkan keputusan pemberian grasi dapat dikategorikan
sebagai pejabat tata usaha negara , apakah pemohon yang bukan objek keputusan
memang dirugikan,hingga apakah keputusan itu secara nalar wajar memang
bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Namun opini bahwa president tidak
konsisten tidak dapat dihindari, karena disatu sisi menyatakan perang terhadap
narkotika, tetapi disisilain memberikan potongan hukuman bagi terpidana
narkotika. Opini ini hanya dapat ditangkis dengan penjelasan transparan fakta
dan argumentasi yang melatari keputusan pemberian grasi itu. President harus
menjelaskan kondisi kesehatan korby yang sebenarnya sehingga atas dasar rasa
kemanusiaan harus diberikan grasi. Kalaupun pemberian grasi itu adalah bagian
dari diplomasi internasional, setidaknya dengan australia pemerintah tidak
perlu mengingkarinya. Justru harus dijelaskan secara detail dan manfaat yang
akan diperoleh dari keputusan itu bagi bangsa indonesia. Hanya dengan demikian
publik dapat diyakinkan bahwa keputusan itu lahir dari pertimbangan saksama
yang cukup kuat untuk mengalahkan sifat serius kejahatan narkotika.
Jika tidak ada penjelasan itu ada
dua kemugkinan. Pertama, keputusan itu memang lahir tanpa memperhatikan aspek
kejahatan narkotika dan tanpa memperkirakan dampak sosialnya. Atau dua,
president dan para pembantunya memang peragu sehingga tidak memiliki
kepercayaan diri mempertahankan keputusan yang telah diambil.
0 komentar:
Posting Komentar