Berpikir Kedepan Tapi JASMERAH

  • Sekilas Saja

    Hidup adalah tujuan untuk Mengikuti Kristus.Bekerja bagiku adalah Hobi.Belajar adalah suatau kesenangan.,

  • SIAPA IDOLA-Mu..?

    Sering sekali kalimat ini dilontarkan oleh para motivator diluar sana kemudian banyak tanggapan bermunculan mulailah keluar nama-nama artis,

  • Hakikat Pemuda dalam Menyikapi Isu SARA di DKI Jakarta.

    Bulan oktober 2016 menjadi saksi kejadian yang membuat heboh seluruh jagat raya dan terkhusus masyarakat DKI Jakarta.

  • Yayasan Aku Dan Sukarno

    YADS adalah wadah bagi para insan sukarnois, pemerhati Sukarno, pengkaji ajaran Sukarno, para penapak-jejak sejarah Sukarno yang ingin berkarya dan belajar dari para pendiri Bangsa seperti Sukarno.

  • Tips “Fashion” yang Wajib Diketahui Semua Wanita

    wanita adalah seorang yang paling peduli dengan pakaian yang hendak digunakan alam berbagai kegiatan, kekantor hangout bareng teman, pesta atau kegiatan resmi lainnya

Kamis, 26 September 2013

fungsi komunikasi

Share:

Minggu, 22 September 2013

Polemik Grasi Corby











Lembaga eksekutif

Polemik grasi corby

PENDAHULUAN
Latar belakang
            Dalam tugas saya ini, saya hendak menganalisa sebuah polemik grasi corby yang lagi hangat-hangatnya ditelinga masayarakat. Karena menurut saya grasi ini perlu dipahami lebih dalam.. Yang membuat penulis tertarik mengambil judul grasi corby yang diberikan prsident kepada Ratu Mariyuana. Yang menjadi permasalahannya grasi tersebut menuai polemik dari berbagai pihak. Ada apa sebenarnya yang terjadi dengan grasi tersebut Dari fakta tersebut saya hendak menganalisa, apakah yang sebenarnya sedang terjadi dan apakah grasi yang diberikan oleh president kepada terpidana salah, atau bagaimana, serta solusinya. Itulah yang mendasari saya memilih untuk menganalisisa Grasi corby ini. Yang akan saya bahas dalam paper saya ini.
            Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 2002, yang dimaksud Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Dari sejarahnya, grasi dahulu sebenarnya diberikan untuk kepentingan terhukum oleh raja pada waktu ia masih berdaulat penuh berdasarkan pertimbangan kemanusiaan.
            Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Undang-undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara Republik Indonesia itu suatu negara hukum (rechstsaat) dibuktikan dariketentuan dalam Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan Undang-undang Dasar 1945.
            Mengenai kewenangan presiden meberikan grasi, disebut kewenangan presiden yang bersifat judicial, atau disebut juga sebagai kekuasaan presiden dengan konsultasi. Kekuasaan dengan kosultasi adalah kekuasaan yang dalam pelaksanaannya memerlukan usulan atau nasehat dari institusi-institusi yang berkaitan dengan materi kekuasaan tersebut. Selain grasi dan rehabilitasi, amnesti dan abolisi juga termasuk dalam kekuasaan presiden dengan konsultasi. Seperti tercantum dalam Pasal 14 ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945, “Presiden memberikan amnesti dan abolisi atas pertimbangan DPR”.



ANALISA
 TEORI
1.   Kekuasaan
            Keberadaan suatu kekuasaan dalam suatu negara tidak bisa dinafikan, melalui kekuasaan, seseorang bisa mempengaruhi orang lain untuk mencapai kepentingan bersama. Hal ini dapat dilihat dari perumusan yang umumnya dikenal (dalam Budiardjo, 2009:60) yakni kekuasaan adalah kemampuan seseorang pelaku untuk mempengaruhi perilaku seorang pelaku lain, sehingga perilakunya menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan. Dalam perumusan ini pelaku bisa berupa seorang, sekelompok orang, atau suatu kolektivitas. Senada dengan pemikiran diatas juga diungkapkan oleh Laswell dan Kaplan (dalam Budiardjo, 2009:60) yaitu kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok orang lain ke arah tujuan dari pihak pertama.
2.   Trias Politika
            Berkaitan dengan konsep kekuasaan diatas, dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter. Oleh karena untuk menghindari hal tersebut maka harus ada pemisahan kekuasaan negara. Sebagaimana konsep trias politika yang dikemukakan oleh Montesquieu (dalam Syafiie, 2002:126) yakni kekuasaan legislatif yaitu pembuat undang-undang, kekuasaan eksekutif (presiden) yaitu pelaksana undang-undang, kekuasaan yudikatif yaitu yang mengadili (badan peradilan).
            Namun demikian, dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia mengenai konsep trias politika diatas, maka menurut Budiardjo (2009:287) bahwa ketiga undang-undang dasar di Indonesia tidak secara eksplisit mengatakan bahwa doktrin trias politika dianut, tetapi karena ketiga undang-undang dasar menyelami jiwa dari demokrasi konstitusional, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia mengatur trias politika dalam arti pembagian kekuasaan, bukan pemisahan kekuasaan.
3.  Presiden
            Sebagai bentuk dari konsep trias politika dalam arti pembagian kekuasaan sebagaimana diuraikan diatas, dan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 maka kekuasaan eksekutif (pemerintahan negara Indonesia) dilaksanakan oleh presiden. Menurut tata bahasanya, kata presiden merupakan kata turunan dari to preside yang artinya memimpin atau tampil didepan. Sedangkan dari kata Latin yaitu presidere berasal dari kata prae yang artinya di depan, dan kata sedere yang artinya duduk (Alrasid, 1999:10).
            Jabatan presiden merupakan jabatan tunggal, yaitu diisi oleh satu orang pemangku jabatan. Pemangku jabatan presiden juga disebut presiden. Jabatan presiden Indonesia sebelum perubahan UUD 1945, menurut Alrasid (1999:12) bahwa presiden bukan merupakan jabatan tertinggi, karena dia berada di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sehingga jabatan majemuk yang melakukan kedaulatan rakyat dan merupakan Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes (badan perwakilan yang menyuarakan kemauan rakyat). Kepada badan negara tertinggi MPR ini presiden wajib memberikan pertanggungjawaban. (Hal ini berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen).

Kasus
            Pada Oktober 2004, corby, 4 tahun ditangkap dibandar Udara Ngurah Rai, denpasar karena membawa 4,2 kilogram ganja didalam tasnya. Yang akhirnya dijatuhkan hukuman 20 tahun penjara pada bulan mei 2005, dan didenda 100 juta.di tingkat banding pada oktober 2005 hukuman corby dikurangi menjadi 15 tahun penjara. Namun pada 12 januari 2006 MA menganulir putusan pengadilan itu. Alasannya narkotika yang diselundupkan corby tergolong kelas 1 yang berbahaya. Corby kembali divonis 20 tahun penjara ketika ia melakukan peninjauan kembali.           
            Seperti kita ketahui bahwa pada selasa, 15 mei 2012 president mengeluarkan keputusan nomor 22G tahun 2012 yang mengabulkan permohonan grasi terpidana 20 tahun, Schapelle Leigh Corby, warga negara Australia yang nama lengkapya ratu mariyuana. Grasi itu berupa pemotongan pidana selama lima tahun.  Corby menjalani pidana sejak 2004 sehingga dengan pemotongan itu dia dapat mengajukan pembebasan bersyarat pada 3 september 2012, karena telah menjalani 2/3 dari masa hukuman sesuai dengan ketentuan PP Nomor 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan, sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 28 tahun 2006, dengan demikian diperkirakan bebas tahun ini, tepatnya september mendatang.
           

Beberapa sumber yang tidak setuju akan grasi yang diberikan Oleh prisident:

Jember, Jawa Timur (ANTARA News) - Pengamat hukum Universitas Jember, Dr Widodo Eka Tjahyana, menilai pemberian grasi oleh Presiden Susilo Yudhoyono kepada terpidana kasus narkotika, Schapelle Corby, dapat memperburuk citra Indonesia di dunia internasional.
JAKARTA, KOMPAS.com — Keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan grasi berupa pengurangan lima tahun hukuman penjara kepada terpidana kasus narkotika, Schapelle Corby, disesalkan. Pasalnya, tidak jelas timbal balik apa yang didapat Indonesia dari pemberian grasi itu.
Hal itu dikatakan Wakil ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, Nasir Djamil, melalui pesan singkat, Rabu (23/5/2012).
Guru besar luar biasa Universitas Padjajaran, bandung,Romli Atmasasmita, juga menilai grasi itu sebagai ketidak laziman ditengah perjuangan pemberantas narkoba. Apalagi kejahatan narkoba merupakan kejahatan internasional yang terorganisasi. Dengan demikian ia harus dilawansekeras-kerasnya bukan diampuni
Tentang Grasi
            Grasi merupakan pengampunan dalama bentuk perubahan, peringanan,pengurangan atau penghapusan pelaksanaan hukuman yang diberikan oleh president. Grasi bukan merupakan bentuk campur tangan president terhadap putusan pengadilan karena tidak menghilankan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana. Sesuai dengan ketentuan pasal 14 ayat 1 UUD 1945 yang selanjutnya diatur dalam UU Nomor 22 tahun 2002, president memiliki wewenang memberi grasi setelah memperhatikan pertimbangan MA. Wewenang ini berasal dari hak yang melekat pada kedudukan president sebagai kepala negara yang pada umumnya juga dimiliki kepala negara di negara-negara lain. Hak ini bersifat eksekutif, sehingga disebut sebagai hak prerogatif dan oleh karena itu pula pertimbangan MA tidak bersifat mengikat, walaupun dari sisi prosedural tetap harus dilalui
            UU grasi tidak menentukan terpidana kejahatan apa yang dapat atau tidak dapat diberikan grasi sehingga pada prisinpnya semua terpidana dapat diberi grasi.UU grasi juga tidak menentukan alasan-alasan yang dapat digunakan oleh pemohon untuk mengajukan grasi ataupun alasan bagi President untuk mengabulkan permohonan itu. Hal ini berbeda dengan remisi yang diberikan berdasarkan perilaku terpidana sebagai warga binaan dilembaga permasyarakatan.
            Berdasarkan PP nomor 32 Tahun 1999 yang telah diubah dengan PP nomor 28 tahun 2006, remisi dapat ditambah apabila terpidana berbuat jasa kepada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan, atau melakukan perbuatan yang membantu kegiatan lembaga pemasyarakatan. Bahkan ketentuan pasal 34 ayat (3)PP nomor 28 tahun 2006 menyatakan bahwa terhadap terpidana narkotika dapat diberikan remisi apabila berkelakuan baik dan telah menjalani 1/3 masa pidana. Pada prateknya, alasan permohonan dan pemberian grasi tidak jauh berbeda dengan alasan pemberian remisi, yaitu kondisi dan perilaku terpidana. Kondisi terpidana merupakan alasan yang bersifat kemanusian, yaitu kesehatan terpidana baik fisik maupun mental. Sedangkan alasan perilaku adalah perubahan sikap dan tingkah laku terpidana ke arah yang positif. Hal ini sesuai dengan paradigma pemidanaan yang lebih mengedepankan pemasyarakatan dibandingkan dengan penghukuman.
Grasi terhadap terpidana Narkotika
            Kejahatan narkotika, baik dalam hukum internasional maupun hukum nasional, dikategorikan sebagai kejahatan yang serius karena dampaknya yang besar dan meluas terhadap tatanan dan meluas terhadap tataan dan perkembangan masyarakat. Indonesia telah meratifikasi United Nations Convension Againts Illicit In Narcotic, Drugs and Psychotropic substance, 1988 dan United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime 2000. Sebagai salah satu bentuk pelaksanaan dua konvensi itu,tekah dibentuk UU nomor 55 tahun 2009 tentang narkotika. Dua konventional internasional itu serta hukum nasional oleh negara peserta dalam melakukan pencegahan dan pemberantas kejahatan narkotika dan kejahatan transnasional yang terorganisasi lainnya.
            Terkait dalam pemberian grasi dan pengampunan, dua konvensi itu memang mengandung politik hukum pengetatan dengan memperhatikan sifat merusak dari narkotika. Didalam artikel 3 paragraf 7 united Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotik Drugs and Psychotropic substance disebutkan, “the parties shall ensure that their courts or other competent authorities bear in mind the serious nature of the offence enumerated in paragraf 1 of this article when considering the eventuality of early release or parole of persons convicted of such offences.” Senada dengan ketentuan itu article 11 paragraf 4 United Nations Conventions Againts Transnational Organized Crime menyatakan, “ Each state party shall ensure that its courts or other competend authorities bear in mind the grave nature of the offence covered by this conventions when considering the eventuality of early rease or parole of persons convicted of such offences.”
            Politik hukum pengetatan pemberian pengampunan dalam dua konvensi PBB tersebut tentu tidak dapat dimaknai sebagai pelarangan pemberian pengampunan dalam bentuk grasi. Demikian pula dalam UU narkotika tidak ada larangan pemberian  grasi terhadap terpidana narkotika. Karena itu prisident tetap memiliki hak untuk memberikan grasi.  Agar grasi tidak menambrak politik hukum yang dianut, tentu harus dilandasi pertimbangan dan argumentasi yang mampu mengesampingkan sifat serius dari tindak pidana narkotika itu sendiri.
PERLU PENJELASAN YANG DETAIL
            Keputusan pemberian grasi kepada corby itu memang tidak melanggar aturan hukum, karena dilakukan sesuai dengan prosedur berdasarkan permohonan dan telah mendapatkan pertimbangan dari MA. Dari sisi substansi, keputusan itupun tidak menabrak aturan hukum karena tidak ada larangan memberi pengampunan kepada terpidana narkotika sebagai kejahatan serius yang bersifat transnasional dan terorganisasi. Karena itu maslah ini dapat dipastikan tidak akan berkelanjutan hingga membuka kemungkinan impeachment karena tuduhan melanggar UU. Kemungkinan terburuk hanyalah pembatalan grasi jika benar keputusan president itu digugat di PTUN yang tentu saja harus melalui pemeriksaan persidangan dan adu argumentasi hukum seperti apakah president pada saat mengeluarkan keputusan pemberian grasi dapat dikategorikan sebagai pejabat tata usaha negara , apakah pemohon yang bukan objek keputusan memang dirugikan,hingga apakah keputusan itu secara nalar wajar memang bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
            Namun opini bahwa president tidak konsisten tidak dapat dihindari, karena disatu sisi menyatakan perang terhadap narkotika, tetapi disisilain memberikan potongan hukuman bagi terpidana narkotika. Opini ini hanya dapat ditangkis dengan penjelasan transparan fakta dan argumentasi yang melatari keputusan pemberian grasi itu. President harus menjelaskan kondisi kesehatan korby yang sebenarnya sehingga atas dasar rasa kemanusiaan harus diberikan grasi. Kalaupun pemberian grasi itu adalah bagian dari diplomasi internasional, setidaknya dengan australia pemerintah tidak perlu mengingkarinya. Justru harus dijelaskan secara detail dan manfaat yang akan diperoleh dari keputusan itu bagi bangsa indonesia. Hanya dengan demikian publik dapat diyakinkan bahwa keputusan itu lahir dari pertimbangan saksama yang cukup kuat untuk mengalahkan sifat serius kejahatan narkotika.
            Jika tidak ada penjelasan itu ada dua kemugkinan. Pertama, keputusan itu memang lahir tanpa memperhatikan aspek kejahatan narkotika dan tanpa memperkirakan dampak sosialnya. Atau dua, president dan para pembantunya memang peragu sehingga tidak memiliki kepercayaan diri mempertahankan keputusan yang telah diambil.
Share:

HOT TOPIC

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support